05 April 2009

*Modernisasi Bahasa Indonesia Lewat Negara*

oleh Mulyo Sunyoto

(ANTARA News) - Awalnya adalah bahasa Melayu yang dilisankan di pasar-pasar, di pelabuhan di antara kaum pelaut-saudagar yang datang dari penjuru Nusantara dan bahkan mancanegara.

Karena begitu meluasnya pemakaian bahasa itu, akhirnya berlangsunglah keputusan politik pada 1928: sejumlah pemuda visioner memaklumkan bahasa itu sebagai bahasa Indonesia. Ketika kemerdekaan diraih pada 1945, pengukuhan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara kian memantapkan bahasa yang konon sudah dituturkan di antara kaum pedagang sekitar abad 8, bahkan di Jawa.

Sebuah prasasti bertahun antara 792 dan abad 9, yang ditemukan di Jawa, mengindikasikan bahwa bahasa Melayu sudah dipakai sebagai bahasa pergaulan, "lingua franca", antarpelaut yang misi utamanya berdagang.

Lalu apa yang ajaib dari perkembangan bahasa ini? Alih bentuk dari bahasa pergaulan sederhana menjadi bahasa nasional sekaligus modern inilah yang membuat ahli sosiolinguistik Yoshua Fisherman takjub pada perkembangan bahasa Indonesia. Untuk sampai pada tahap yang mapan sebagai bahasa Indonesia yang modern, berbagai upaya telah dilakukan lewat campur tangan negara.

Sejumlah institusi pengelola bahasa dibentuk. Yang paling menonjol adalah Komisi Istilah pada 1950, dengan tujuan memperkaya istilah-istilah berbagai bidang keilmuan dalam bahasa Indonesia, yang belum tersedia dalam bahasa Melayu.
Meskipun sebelumnya ada Komisi Bahasa Indonesia yang misinya juga memodernkan bahasa Indonesia, lahirnya Komisi Istilah memberikan warna tersendiri. Bahkan ada yang menyebut, sejak didikan Komisi Istilah, lahirlah revolusi terminologi besar-besaran. Tak kurang dari 100.000 istilah berbagai bidang keilmuan dilahirkan komisi ini.

Modernisasi kosa kata bahasa Indonesia dan politik peristilahan inilah yang dikupas linguis Jerome Samuel dalam disertasinya dengan judul asli berbahasa Perancis "Modernisation lexcicale et politique terminologique: Le cas de l`Indonesien" , yang diterbitkan menjadi "Kasus Ajaib Bahasa
Indonesia,Pemoderna n Kosakata dan Politik Peristilahan" oleh Kepustakaan Populer Gramedia , Oktober 2008.

Samuel menyoroti peran negara dalam merencanakan, merancang dan merekayasa bahasa Indonesia, yang menurut pendapatnya cukup berhasil. Dia menaruh respek pada salah seorang ahli bahasa yang berjasa menentukan wajah bahasa Indonesia, Anton M. Moeljono.

Namun, kritiknya terhadap lembaga bahasa bentukan Orde Baru, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang pernah diketuai Anton cukup tajam. Bagi Samuel, lembaga yang kini bernama Pusat Bahasa itu semestinya mengatur penggunaan istilah-istilah yang sudah tersedia melimpah di masyarakat dan bukannya menambah atau melengkapinya dengan istilah-istilah baru yang dipungut dari asing sehingga penutur bahasa tak terbiasa memakainya.

Dalam buku setebal 534 halaman itu, Samuel juga menghadirkan pemikiran posmodernisme yang mengecam keberadaan Pusat Bahasa. Aliran yang diwakili antara lain oleh Ariel Heryanto itu menganggap Pusat Bahasa adalah lembaga stabilisasi sektor bahasa, yang bertujuan melanggengkan kekuasaan Orba.

Jargon "gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar" yang dipopulerkan di era Orde Baru dianggap Ariel sebagai monopoli kebenaran atas pemakaian bahasa dan penghakiman bahwa bahasa yang dipakai rakyat adalah "jelek dan salah".

Samuel menilai Ariel tak memberikan solusi memadai setelah mengajukan kritik ala posmo itu. Mungkin, bagi Ariel, bukan solusi yang terpenting di sini.
Kritik posmo atas paradigma modernisme juga tak serta-merta disertai solusi alternatif, yang oleh kaum modernis dianggap memadai.

Yang fundamental dari kritik posmo adalah penyadaran bahwa negara tak boleh dibiarkan memonopoli kebenaran, termasuk dalam bertutur dalam bahasa.

Barangkali yang dilupakan Ariel adalah: kosa kata dan gramatika yang dia pakai untuk melontarkan ide-ide kritisnya adalah bahasa Indonesia kaidah
standar yang masuk kategori "baik dan benar". Ariel beda dengan Benedict Anderson, yang ketika melontarkan idenya untuk tak mengikuti bahasa bikinan Orde Baru, memakai bahasa Melayu pasar dengan menghindari kaidah Ejaan Yang Disempurnakan.

Namun, semua kritik atas (kinerja) lembaga bahasa bentukan penguasa politik itu tak menyurutkan Samuel untuk menyatakan bahwa bahasa Indonesia cukup berhasil memodernkan diirinya, tentu tak lepas dari campur tangan penguasa.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar