29 April 2011

Paranoid

“Only the paranoid survive.” Zaman tampaknya membuktikan kata-kata itu. Ya, hanya orang paranoid yang bisa bertahan.

Itu bukanlah kutipan dari novel Tom Clancy, bukan pula omongan jenderal pongah, Napoleon Bonaparte, yang Anda boleh mengabaikannya. Tapi, kata-kata itu keluar dari orang yang membesarkan bisnis prosesor, Intel Corp, yakni Andrew Grove atau biasa dipanggil Andy Grove.
Grove telah menjadi presiden direktur, CEO (chief executive officer), serta komisaris utama di Intel selama 18 tahun sejak 1979. Dia lelaki tangguh. Pria kurus ini sangat mafhum apa arti “paranoid” dan “survive”.

Dulu, Grove hengkang dari kotanya, Budapest, Hungaria, saat revolusi meletus pada 1956. Dia berlayar dan menjadi imigran di New York City pada 1957. Revolusi itulah yang membuatnya belajar arti “paranoid” dan “survive”.

Saat membangun bisnis Intel, keyakinan terhadap “paranoid” itu pula yang membuatnya tahan banting. Lihatlah bagaimana Intel membangun ketergantungan pengguna komputer pada Intel. Biarpun ada AMD atau RISC, Intel tetap bisa menguasai pasar. Saking paranoidnya, Intel seperti berkejaran dengan waktu untuk menciptakan prosesor yang makin murah, dan semakin irit baterai. Ingat Pentium I, Pentium II, Celeron, Dual Core, sampai berkembang jauh menjadi Core i7? Itulah hasil kerja orang-orang paranoid seperti Grove.

Di tengah persaingan penjualan prosesor yang sengit, Grove bisa meningkatkan kapitalisasi Intel hingga 4.500 persen. Wow! Bahkan, Intel pada 1997 dinobatkan menjadi perusahaan paling bernilai. Grove sendiri dipilih menjadi Person of The Year oleh majalah Time.

Orang atau organisasi yang paranoid ini adalah makhluk-makhluk dengan napas panjang. Zaman sulit menghentikan mereka. Sejarah telah mencatat itu.

Sebaliknya, orang-orang yang santai, terlena dengan kesuksesan, terbukti bernapas pendek. Mereka mudah sekali terdampar saat pasar baru tiba. Motorola adalah contohnya. Pada era 1994-an, Motorola adalah raja peranti komunikasi. Mereka menikmati kekayaan yang berlimpah. Tapi, umur kejayaan mereka tak lama. Saat Nokia mulai menancapkan kuku pada 2000, kejayaan Motorola pun memudar. Mereka kalah telak dalam produksi telepon seluler, baik desain, fungsi, maupun harga. Pangsa pasar Motorola anjlok, dari 45 persen menjadi 15 persen. Orang pun bertanya-tanya, bagaimana mungkin perusahaan yang disebut oleh konsultan A.T. Kearney sebagai “perusahaan dengan manajemen terbaik di dunia” bisa bertekuk lutut di hadapan Nokia? Pasar Nokia naik menjadi 31 persen.

Motorola gagal menjadi paranoid. Mereka menikmati kejayaan dan lupa bahwa rival-rival baru bermunculan. Motorola telat melakukan investasi di dunia komunikasi digital, maka Nokia pun menjadi raja baru. Mereka ponsel sejuta umat.

Sejarah kesalahan Motorola itu rupanya terulang pada Nokia. Tak ada orang paranoid di tubuh Nokia, saat Apple meluncurkan iPhone pada 2004. Nokia masih membanggakan ponsel Nokia Communicator dan sistem Symbian-nya. Dalam waktu singkat, semua itu menjadi “jadul” pasar keburu menjadi bubur. iPhone menjadi Sang Fenomena.

Tapi, pertunjukan belum usai. Waktu akan menghancurkan perusahaan-perusahaan yang tak paranoid. Apple, meski cerdas, dikenal lambat dalam merespons pasar. Geng penghasil ponsel Android punya kans besar untuk menggusurnya. TI

15 April 2011

Green Party dan Usaha-Usaha Tambang para Politisi

Hanya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyatakan diri sebagai “green party” (partai hijau) di antara sekian banyak partai yang ada. Partai hijau bukan dalam arti partai Islam, melainkan partai yang memiliki perhatian lingkungan. Partai-partai lain masih menahan diri untuk menjadi partai hijau. Dikutip dari Kanal Informasi, ada banyak kendala untuk mendeklarasikan diri sebagai partai hijau, mengapa? Karena sebagian besar partai menggantungkan dananya dari para pengurus partai yang merupakan pengusaha tambang: mineral, minyak dan gas.

Partai Golkar, Ketua Umumnya, Aburizal Bakrie adalah pengusaha tambang. Ia memiliki usaha tambang batubara, PT Bumi Resources dan usaha-usaha tambang lainnya seperti tambang emas. Bakrie dulu memiliki saham di tambang emas Freeport Indonesia dan pada 1998 menjualnya kepada Bob Hasan. Kini, mesin uang holding Bakrie ditopang oleh tambang batubara.

Sutrisno Bachir ketika menjalankan PAN sebagai Ketua Umum, adalah salah satu pemilik saham Bumi Resources satu perusahaan dengan Aburizal Bakrie. Sudah pasti, uang pribadi Sutrisno sedikit banyak tersedot ke dalam pembiyaaan kegiatan PAN.

Partai Demokrat, partai baru pemenang Pemilu 2009, juga berusaha mencari dana dari pertambangan, dengan misalnya memasok batubara untuk PT PLN.

Sofyan Djalil, mantan Menteri BUMN, kader Partai Demokrat juga memiliki saham di Bumi Resources. Batubara memang sedang booming. Harganya mahal tetapi ongkos penambangannya murah. Banyak pengusaha tambang batubara dikayakan dari tambang ini. Bakrie pernah menjadi orang terkaya di Asia Tenggara, dengan demikian sudah pasti orang terkaya di Indonesia.

Taufik Keimas, Ketua Dewan Pembina PDIP memiliki usaha tambang pasir di pesisir Sumatera. Pasir-pasir itu diekspor ke Singapura untuk reklamasi Pulau Sentosa yang kini jadi pusat kasino terbesar di Asia. Arifin Panigoro, pengusaha minyak dan gas dulu menyokong PDIP sebelum pindah ke Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) dan kemudian keluar lagi. Di zaman Orde Baru, Partai Demokrasi Indonesia juga ditopang oleh para pengusaha tambang, seperti Jusuf Merukh yang merupakan penambang emas.

Para politisi dan anggota DPRD di wilayah-wilayah penambangan batubara adalah para pemilik konsesi penambangan. Di wilayah-wilayah penghasil tambang, keluarga kapala daerah setempat adalah para pemegang konsesi tambang. Demikian juga para politisi di DPR RI, sebagian dari mereka merangkap pengusaha tambang: pemilik konsesi penambangan atau sekadar broker.

Dengan kenyataan seperti ini, sulit mengharapkan, partai-partai politik memiliki perhatian pada lingkungan, karena para elite politisinya adalah para pengusaha tambang.

Serangan Hacker Bernama “DDoS”

Dua situs Malaysia yakni Malaysiakini.com, Sarawakreport.org dua situs berita independen di Malaysia dan Prachatai.com situs berita independen di Bangkok mengalami serangan “DDoS”. Demikian laporan laporan Gayatrhy Venkiteswaran, Direktur Eksekutif Southeast Asia Press Alliance (SEAPA) mitra Kanal Informasi di Bangkok, hari ini. Ketiga situs berita tersebut lumpuh karena serangan tersebut.

“DDoS” adalah singkatan dari Distributed Denial of Service. Distributed Denial of Service adalah aktifitas menghambat kerja sebuah layanan (servis) atau mematikannya, sehingga user yang berhak tidak dapat menggunakan layanan tersebut. Dampak akhir dari aktifitas ini menjurus kepada terhambatnya aktifitas sasaran (layanan) yang dapat berakibat sangat fatal (dalam kasus tertentu). Pada dasarnya Distributed Denial of Service merupakan serangan yang sulit diatasi, hal ini disebabkan oleh risiko layanan publik di mana ISP/Admin akan berada pada kondisi yang membingungkan antara layanan dan kenyamanan terhadap keamanan. Seperti yang kita tahu, kenyamanan berbanding terbalik dengan keamanan. Maka risiko yang mungkin timbul selalu mengikuti hukum ini.

Beberapa aktifitas DDoS antara lain aktifitas flooding yakni membanjiri akses terhadap suatu server, memutuskan koneksi antara dua mesin, mencegah sasaran untuk dapat menggunakan layanan dan merusak sistem agar sasaran tidak dapat menggunakan layanan. Motif serangan DDoS antara lain alasan politik, ekonomi, mendapatkan akses, dan kejahatan.

“Serangan dimulai pada Selasa kemarin, (12 April 2011) pukul 11 pagi,” ujar Premesh Candran, CEO Malaysiakini.com kepada Kanal Informasi. Dan hingga kini para ahli tehnologi informasi di sana belum mampu mengatasi serangan ini.KI