13 Februari 2009

Main Jenderal di Kendari (The History of Kendari)

Kendari, sebagai ibu kota propinsi sul-tra menghadapi masalah: air minum sulit, listrik terbatas, teluk dangkal akibat hutan yang gundul, jalan raya yang sempit. pejabat setempat membangun sarana yang mubazir.

NAMA Kendari lazimnya dikaitkan orang pada ukiran-ukiran perak atau emas yang tersohor. Kerajinan itu nyaris tenggelam bersamaan dengari kian dangkalnya teluk karena lama tak terurus. Itu sebabnya, baik kerajinan bertukang maupun teluk yang diendapi lumpur itu belakangan ini mulai ditanggulangi.

Terletak disebuah teluk yang tenang meliuk sepanjang 30 km, Kendari merupakan ibukota propinsi Sulawesi Tenggara. Entah kekuatan apa yang terkandung dalam nama Kendari itu, nyatanya selain sebagai ibukota propinsi, Kendari dicantumkan juga buat nama kota kabupaten. Tidak tanggung-tanggung sekaligus juga buat nama kecamatan plus desa. Sehingga bila tak cermat menulis surat ke Kendari, boleh jadi bisa nyasar kemana saja. Yang terbllang kota terdiri dari 4 kecamatan, tiga diantaranya masih berupa tanah lowong. Kalaupun ada rumah, itu boleh dihitung dengan jari. Kota Kendari hanya 10 km berderet bagai terbelah oleh jalan raya. Sedangkan jalan yang ada dalam kota bertetangga dengan pantai dan pegunungan Nipa-nipa. Hingga. kurang berhak di sebut jalan kota lantaran sempit.

Sang teluk, tahun 1930 konon punya kedalaman 30 m. Tahun ini berada pada kedangkalan sama menyolok: hanya 8 m saja. Konon ini akibat ada delapan biji sungai yang bermuara kesana, tambahan akibat gundulnya pegunungan Nipa-nipa, serta-merta lumpur mengalir tanpa malu-malu. Upaya pemerintah daerah memindahkan penduduk yang bikin gara-gara gundulnya tanah pegunungan itu keseberang teluk, yaitu di proyek Andunhu sebegitu jauh baru mencapai 150 kepala keluarga. Rencana meliputi 225 kepala keluarga.

Film butut. Kerja membenahi Kendari menyangkut juga penggusuran rumah-rumah nelayan yang jelek di tepi pantai. Jumlah mereka ada 700 kepala keluarga, semua bakal diboyong pula ke seberang. Jika boyong dan gusur itu kelak lancar saja, konon dapat dibayangkan tampang Kendari sepuluh tahun kemudian sebagai kota yang menarik. Di bagian utara bakal merupakan kota bersusun, dengan dibukanya lagi jalan Wajong. Sementara daerah seberang tentu bakal berkembang pula. Tapi itu bayangan yang masih berbau impian. Bagaimana keadaan Kendari dewasa ini? Jalan yang sempit bukan satu-satunya soal. Ada lagi urusan air minum. Begitu sukarnya air tawar di sini, sehingga pernah harga satu drum air tawar jauh lebih mahal dibanding minyak tanah dalam jumlah yang sama. Penduduknya ada 45.000 jiwa: suatu jumlah yang boleh disebut berkembang pesat mengingat 5 tahun lalu hanya dihuni duapuluh ribu orang. Mereka, lebih-lebih kaum pendatang, konon tak dapat mengelak dari rasa sepi. Apalagi di malam hari satu-satunya biburan murah alias bioskop hanya kebagian memutar film-film yang rada butut. Tak heran jika tiap penghuni rumah mencoba membuat hiburan sendiri. Ada satu permainan yang menarik: main remi dengan kartu bridge yang entah mengapa disebut main jenderal. Tidak jelas adakah nama itu muncul karena beberapa jenderal suka iseng main kartu di malam hari. Yang pasti menurut seorang bupati di sana, "gubernur Eddy Sabara paling gemar main ini." Tidak saja jenderal Sabara, tapi kabarnya kaum remaja lebih-lebih para wanita di sana rata-rata pandai main jenderal.

Bisa dimengerti. Meskipun di tengah kesepian dengan siaran RRI yang daya jangkaunya 10 km, listrik yang menyala sekitar jam 18:00 sampai 01:00, hutan yang gundul, teluk yang dangkal, air minum yang sulit dan kurang liburan tak urung pejabat setempat masih sem pat menoleh pada urusan pasar-pasar kecil. Ini bakal digusur untuk diganti dengan Pasar Sentral di tepi pantai. Konon modalnya diperoleh dari kredit sebesar 150 juta rupiah. Di dekat pasar sentral itu sudah berdiri tempat lelang ikan dan pembantaian hewan. Itu kabarnya belum lagi pernah dipergunakan! namun sudah siap pula untuk dibongkar. Entah bagaimana rencana semula sampai membuat rumah lelang dan tempat potong, tak jelas duduk perkaranya. Yang pasti, biayanya berasal dari Pelita sejumlah Rp 2 juta. (MBM TEMPO Edisi 13 Oktober 1973)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar