Tahun 1965, sebuah masa yang dikenal sebagai "Vivere Pericoloso—Hidup Penuh Bahaya", yang membelokkan arah hidup bangsa Indonesia. Pemerintahan Sukarno membawa Indonesia ke tengah ketidakpastian. Dalam kondisi ekonomi Indonesia yang lemah, Presiden menghabiskan uang untuk membangun monumen-monumen megah, seraya menyulut api kebencian terhadap Barat dan mengobarkan semangat konfrontasi dengan negara tetangga: Ganyang Malaysia! Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!
Sementara itu, di Jakarta yang penuh gejolak, tempat intrik politik bergolak dan bahaya senantiasa terendus—seperti bau rokok kretek—terjebak Guy Hamilton, seorang wartawan Barat, Billy Kwan, juru kamera bertubuh kate keturunan Cina-Australia, dan Jill Bryant, perempuan Inggris yang sama-sama mereka cintai.
Inilah sebuah drama penuh liku tentang revolusi, cinta segi tiga, kesetiaan, dan pengkhianatan. Selain itu, novel ini membeberkan berbagai peristiwa politik sepanjang tahun penuh pergolakan sampai hari-hari terakhir kekuasaan Presiden Sukarno setelah digulingkan oleh kudeta militer Jenderal Soeharto menyusul Gerakan 30 September.
Setelah lewat 40 tahun, ingatan tentang rangkaian tragedi 1965—ketika ratusan ribu rakyat sipil yang dituduh komunis dibantai menyusul pembunuhan para jenderal di Jakarta—mulai luntur bagi banyak orang. Koch, novelis dan wartawan kawakan Australia, menghidupkan kembali peristiwa itu dengan detail mencekam dalam novel yang dilarang beredar di Indonesia oleh rezim Ode Baru sejak 1978 ini.
Sedemikian menariknya novel ini sehingga diangkat ke layar perak pada 1982 dengan dibintangi para aktor terkemuka Hollywood: Mel Gibson, Sigourney Weaver, dan Linda Hunt. Seperti novelnya, filmnya pun dilarang diputar di Indonesia walaupun mendapat sambutan hangat di seluruh dunia. Tak pelak, novel ini sungguh layak dibaca oleh khalayak luas untuk lebih memahami sejarah kita sendiri.
DATA BUKU
Judul buku: THE YEAR OF LIVING DANGEROUSLY, Cinta di Tengah Gejolak Revolusi 1965
Penulis: Christopher Koch
Penerbit: Serambi
Tebal: 496 halaman
Cetakan: I, September 2009
Harga: Rp 49.000
PUJIAN:
"Novel terbaik tentang Indonesia."—www. amazon.com
"Karya fiksi yang disajikan dengan matang dan bernas, dipersiapkan dengan baik dan dituliskan dengan indah."—Larry McMurtry, penulis pemenang Pulitzer Prize dan Academy Award
"Penting dibaca generasi masa kini …"—The Jakarta Post
"Novel yang indah."—The Sidney Morning Herald
"Cerdas, menyentuh, meyakinkan …" —Anthony Burgess, penulis novel kontroversial A Clockwork Orange
10 November 2009
Cinta di Tengah Gejolak Revolusi 1965
03 November 2009
Bila Air Tak Lagi Mengalir Sampai Jauh
Byline: dedy kurniawan ---
Dengus nafas Ahmadi Razak terdengar berkejaran. Dengan wajah bersimbah peluh, bocah berumur 13 tahun itu terlihat berupaya mengejar sembilan rekannya yang berjalan beriring di depannya.
Sesekali langkah Ahmadi terlihat sempoyongan, namun santri Pondok Pesantren Hidayatullah di Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana ini tak mau menyerah. Sambil memanggul jerigen ukuran 20 liter berisi air bersih, Ahmadi makin mempercepat langkahnya melewati jalan tanah yang sedikit menanjak.
Hampir sejam kemudian, Ahmadi dan rekan-rekannya tiba di halaman Ponpes Hidayatullah tempatnya menimba ilmu. Jerigen-jerigen berisi air bersih itu kemudian diletakkan di pojok salah satu ruangan yang difungsikan sebagai dapur sekaligus ruang makan bagi santri laki-laki.
Gurat kelelahan terpancar jelas dari wajah Ahmadi. Sambil mengipas-ngipaskan kopiah yang tadi dikenakannya, Ahmadi bercerita bahwa kegiatan mengambil air bersih tersebut sudah dilakoninya sejak sebulan terakhir.
"Cape om, tapi kami senang melakukannya," kata Ahmadi yang matanya kemudian berbinar saat disodori segelas air minum kemasan.
Pengasuh Ponpes Hidayatullah, Kholid mengatakan, musim panas yang terjadi hampir setahun terakhir membuat ia dan para santrinya yang seluruhnya berjumlah 60 orang, terpaksa harus berjalan sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air.
"Dulu kami punya sumur tapi sejak dua bulan lalu airnya sudah mengering. Masalahnya lagi, jaringan air PDAM Bombana tak bisa mengalir ke sini karena letak Ponpes yang kebetulan berada di daerah berbukit. Terpaksa setiap hari kami harus jalan kaki menuruni bukit untuk mencari air," kata Kholid.
Menurut pria paruh baya ini, pihaknya sebenarnya sudah dua kali mencoba membuat sumur bor. Namun gagal karena peralatan yang digunakan tak mampu menembus batuan cadas yang terpendam di sekitar bukit tersebut.
Permintaan bantuan kepada pemerintah setempat juga sudah berulang kali dilayangkan Kholid, namun hingga kini belum juga terealisir kecuali janji yang berulang kali didengarnya langsung dari pejabat pemerintah yang ditemuinya.
Secercah harapan muncul saat PT Panca Logam Makmur, salah satu investor tambang emas di Kabupaten Bombana, menawarkan jasa untuk membangun sumur bor di Ponpes tersebut.
Manajer Humas PT Panca Logam Makmur, Maman Resman mengatakan, selain bentuk dari kepedulian sosial, niatan untuk membangun sumur bor di Ponpes Hidayatullah tersebut merupakan bagian dari program Company Social Responsibility (CSR) perusahaannya.
"Paling tidak kami berharap pembangunan sumur bor ini bisa membantu kelancaran pendidikan di Ponpes Hidayatullah ini," katanya.
Pihak Panca Logam Makmur sendiri, kata Maman, sudah menurunkan tim tekniknya untuk menentukan lokasi pembuatan sumur bor di sekitar Ponpes Hidayatullah.
Kholid sendiri berharap, janji PT Panca Logam Makmur tersebut bisa segera diwujudkan, sehingga syair "....air mengalir sampai jauh..." dari lagu Bengawan Solo milik Gesang bisa didendangkan di Ponpes ini dan Ahmadi pun tak lagi turun naik bukit memanggul jerigen.
Dengus nafas Ahmadi Razak terdengar berkejaran. Dengan wajah bersimbah peluh, bocah berumur 13 tahun itu terlihat berupaya mengejar sembilan rekannya yang berjalan beriring di depannya.
Sesekali langkah Ahmadi terlihat sempoyongan, namun santri Pondok Pesantren Hidayatullah di Kecamatan Rumbia, Kabupaten Bombana ini tak mau menyerah. Sambil memanggul jerigen ukuran 20 liter berisi air bersih, Ahmadi makin mempercepat langkahnya melewati jalan tanah yang sedikit menanjak.
Hampir sejam kemudian, Ahmadi dan rekan-rekannya tiba di halaman Ponpes Hidayatullah tempatnya menimba ilmu. Jerigen-jerigen berisi air bersih itu kemudian diletakkan di pojok salah satu ruangan yang difungsikan sebagai dapur sekaligus ruang makan bagi santri laki-laki.
Gurat kelelahan terpancar jelas dari wajah Ahmadi. Sambil mengipas-ngipaskan kopiah yang tadi dikenakannya, Ahmadi bercerita bahwa kegiatan mengambil air bersih tersebut sudah dilakoninya sejak sebulan terakhir.
"Cape om, tapi kami senang melakukannya," kata Ahmadi yang matanya kemudian berbinar saat disodori segelas air minum kemasan.
Pengasuh Ponpes Hidayatullah, Kholid mengatakan, musim panas yang terjadi hampir setahun terakhir membuat ia dan para santrinya yang seluruhnya berjumlah 60 orang, terpaksa harus berjalan sejauh satu kilometer untuk mendapatkan air.
"Dulu kami punya sumur tapi sejak dua bulan lalu airnya sudah mengering. Masalahnya lagi, jaringan air PDAM Bombana tak bisa mengalir ke sini karena letak Ponpes yang kebetulan berada di daerah berbukit. Terpaksa setiap hari kami harus jalan kaki menuruni bukit untuk mencari air," kata Kholid.
Menurut pria paruh baya ini, pihaknya sebenarnya sudah dua kali mencoba membuat sumur bor. Namun gagal karena peralatan yang digunakan tak mampu menembus batuan cadas yang terpendam di sekitar bukit tersebut.
Permintaan bantuan kepada pemerintah setempat juga sudah berulang kali dilayangkan Kholid, namun hingga kini belum juga terealisir kecuali janji yang berulang kali didengarnya langsung dari pejabat pemerintah yang ditemuinya.
Secercah harapan muncul saat PT Panca Logam Makmur, salah satu investor tambang emas di Kabupaten Bombana, menawarkan jasa untuk membangun sumur bor di Ponpes tersebut.
Manajer Humas PT Panca Logam Makmur, Maman Resman mengatakan, selain bentuk dari kepedulian sosial, niatan untuk membangun sumur bor di Ponpes Hidayatullah tersebut merupakan bagian dari program Company Social Responsibility (CSR) perusahaannya.
"Paling tidak kami berharap pembangunan sumur bor ini bisa membantu kelancaran pendidikan di Ponpes Hidayatullah ini," katanya.
Pihak Panca Logam Makmur sendiri, kata Maman, sudah menurunkan tim tekniknya untuk menentukan lokasi pembuatan sumur bor di sekitar Ponpes Hidayatullah.
Kholid sendiri berharap, janji PT Panca Logam Makmur tersebut bisa segera diwujudkan, sehingga syair "....air mengalir sampai jauh..." dari lagu Bengawan Solo milik Gesang bisa didendangkan di Ponpes ini dan Ahmadi pun tak lagi turun naik bukit memanggul jerigen.
Ratusan Hektar Sawah di Bombana Kekeringan
Byline : dedy kurniawan ---
Musim panas yang terjadi sejak tujuh bulan terakhir membuat ratusan hektar sawah di Kabupaten Bombana mengalami kekeringan. Tidak tanggung-tanggung, total luas areal persawahan yang kekeringan dan tak bisa ditanami mencapai 992 hektar. Kondisi tersebut diperparah dengan tak berfungsinya sistem irigasi yang dibangun pemerintah daerah setempat. Celakanya lagi, sembilan unit mesin pompa yang dipasang Dinas Pertanian Bombana di sejumlah areal persawahan, tak sanggup menarik air untuk mengairi sawah.
Hasan, seorang petani di Kecamatan Rarowatu Utara menceritakan, sejatinya kekeringan tersebut sudah terjadi sejak setahun yang lalu. Namun, dampaknya mulai dirasakan para petani tujuh bulan terakhir.
"Tahun lalu meski musim panas terjadi tapi kami masih bisa menanam dan memanen jagung, ubi serta tanaman jangka pendek lainnya. Tapi sejak tujuh bulah terakhir hingga sekarang, jangankan padi, jagung dan ubi saja tidak bisa tumbuh," kata Hasan.
Menurut Hasan, tak jauh dari areal persawahannya, terdapat dua unit mesin pompa air yang dipasang Dinas Pertanian Bombana. Hanya saja sejak dipasang dua bulan lalu, hingga kini kedua unit mesin pompa tersebut tak sanggup menarik dan mengalirkan air ke persawahan petani.
Petani lainnya, Muhammad Syarif, menceritakan, ia dibantu dua orang anaknya sudah berupaya menggali sumur. Namun meski sudah menggali hingga kedalaman 10 meter, air yang dicari tak juga berhasil ditemukan.
"Kalau sumur yang saya gali mengeluarkan air paling tidak sawah saya masih bisa ditanami tanaman jangka pendek," ujar Syarif.
Baik Hasan maun Syarif mengatakan, dulunya air yang mengairi areal persawahannya begitu melimpah. Namun sejak maraknya aktifitas penambangan emas ilegal setahun terakhir, sungai Langkea yang merupakan sumber utama pengairan sawah mereka mengering.
Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Sirajuddin mengatakan, mengeringnya sungai dan saluan irigasi yang mengairi sawah penduduk akibat parahnya kerusakan yang terjadi di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat aktifitas penambangan emas ilegal.
"Para penambang ilegal menambang emas dengan cara merusak DAS. Akibatnya, sungai rusak dan airnya tak lagi mengalir ke persawahan penduduk," katanya.
Dinas Pertanian sendiri, kata Sirajuddin, sudah berupaya membantu petani. Namun, sembilan unit mesin pompa yang mereka pasang tak berhasil menarik dan mengalirkan air ke areal persawahan penduduk.
Selain 992 hektar sawah penduduk yang sudah dinyatakan puso akibat kekeringan, kurang lebih 4 ribu hektar sawah yang berada di sekitar kawasan Lantari Jaya dan Poleang juga terancam mengalami kekeringan.
Musim panas yang terjadi sejak tujuh bulan terakhir membuat ratusan hektar sawah di Kabupaten Bombana mengalami kekeringan. Tidak tanggung-tanggung, total luas areal persawahan yang kekeringan dan tak bisa ditanami mencapai 992 hektar. Kondisi tersebut diperparah dengan tak berfungsinya sistem irigasi yang dibangun pemerintah daerah setempat. Celakanya lagi, sembilan unit mesin pompa yang dipasang Dinas Pertanian Bombana di sejumlah areal persawahan, tak sanggup menarik air untuk mengairi sawah.
Hasan, seorang petani di Kecamatan Rarowatu Utara menceritakan, sejatinya kekeringan tersebut sudah terjadi sejak setahun yang lalu. Namun, dampaknya mulai dirasakan para petani tujuh bulan terakhir.
"Tahun lalu meski musim panas terjadi tapi kami masih bisa menanam dan memanen jagung, ubi serta tanaman jangka pendek lainnya. Tapi sejak tujuh bulah terakhir hingga sekarang, jangankan padi, jagung dan ubi saja tidak bisa tumbuh," kata Hasan.
Menurut Hasan, tak jauh dari areal persawahannya, terdapat dua unit mesin pompa air yang dipasang Dinas Pertanian Bombana. Hanya saja sejak dipasang dua bulan lalu, hingga kini kedua unit mesin pompa tersebut tak sanggup menarik dan mengalirkan air ke persawahan petani.
Petani lainnya, Muhammad Syarif, menceritakan, ia dibantu dua orang anaknya sudah berupaya menggali sumur. Namun meski sudah menggali hingga kedalaman 10 meter, air yang dicari tak juga berhasil ditemukan.
"Kalau sumur yang saya gali mengeluarkan air paling tidak sawah saya masih bisa ditanami tanaman jangka pendek," ujar Syarif.
Baik Hasan maun Syarif mengatakan, dulunya air yang mengairi areal persawahannya begitu melimpah. Namun sejak maraknya aktifitas penambangan emas ilegal setahun terakhir, sungai Langkea yang merupakan sumber utama pengairan sawah mereka mengering.
Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bombana, Sirajuddin mengatakan, mengeringnya sungai dan saluan irigasi yang mengairi sawah penduduk akibat parahnya kerusakan yang terjadi di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat aktifitas penambangan emas ilegal.
"Para penambang ilegal menambang emas dengan cara merusak DAS. Akibatnya, sungai rusak dan airnya tak lagi mengalir ke persawahan penduduk," katanya.
Dinas Pertanian sendiri, kata Sirajuddin, sudah berupaya membantu petani. Namun, sembilan unit mesin pompa yang mereka pasang tak berhasil menarik dan mengalirkan air ke areal persawahan penduduk.
Selain 992 hektar sawah penduduk yang sudah dinyatakan puso akibat kekeringan, kurang lebih 4 ribu hektar sawah yang berada di sekitar kawasan Lantari Jaya dan Poleang juga terancam mengalami kekeringan.
Langganan:
Postingan (Atom)